SANGATTA – Soal permasalahan karyawan PT Anugrah Energitama (AE) yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mendapatkan tanggapan dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kutai Timur (DPRD Kutim) Yan. Ia menegaskan menyerahkan sepenuhnya penyelesaian permasalahan kepada kedua belah pihak.
Yan saat disambangi awak media, mengutarakan usai memediasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilangsungkan di Ruang Panel, Gedung DPRD, Bukit Pelang, Senin (1/7/2024) sampai berakhirnya rapat tak juga menemukan kesepakatan antara keduanya.
Menurutnya, kedua belah pihak saling berpegang teguh pada pendiriannya. Sehingga, hal itulah yang menyebabkan tak menemukan solusi. Oleh sebab itu, ia menyerahkan sepenuhnya kepada kedua belah pihak terkait persoalan itu akan diselesaikan bagaimana.
Pasalnya, ia tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan hubungan industrial antara perusahaan dengan karyawannya. Sebab itu mutlak hubungan industrial.
Kata Yan, mereka tidak mencapai kesepakatan. Sebab, dari satu pihak menganggap itu adalah PHK yang mesti diberi uang pesangon. Namun, disisi lain, menyatakan itu adalah PKWT tidak harus diberikan pesangon.
“Mereka tidak mencapai kata sepakat terkait ini. Karena dari satu pihak menganggap ini PHK yang harus dikasih pesangon, di lain pihak menyatakan bahwa ini PKWT nya berakhir tidak harus dikasih pesangon. Kalau dua-duanya berpegang teguh pada pendirianya. Ya, sudah kita serahkan aja ke mereka, entah itu dibawah ke PHI atau bagaimana,” ucap Yan.
Ia menilai, mereka ini hanya berbeda perspektif. Dimana sang karyawan menganggap bahwa ia belum di beri SK sebagai karyawan tetap oleh pihak perusahaan, dan pihak perusahaan menganggap mereka hanya sebagai PHL yang tidak wajib memberi pensiunan, pesangon, dan sebagainya.
“Mereka ini kan berbeda cara pandang dan kita tidak punya wewenang untuk memutuskan, harusnya kan ini dinas yang menangani dan mengetahui dasar hukumnya, tetapi perusahaan tetap juga tidak terima bahkan secara tegas ia menolak dan tetap pada pendiriannya, “ujarnya.
Karena ini adalah hubungan industrial, maka tidak ada kaitannya dengan perda. Tinggal ahli hukum yang akan menilai siapa yang benar dan siapa yang salah.
“Kalau kedua belah pihak saling mengklaim benar, maka pengadilan lah yang akan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah,” imbuhnya.
Namun, dalam hal ini perspektif Yan menilai yang benar sebenarnya Disnakertrans bahwa perusahaan telah melanggar, sebab ia mempekerjakan karyawan selama 9 tahun. Dalam kurun waktu itu mestinya sudah diangkat menjadi karyawan tetap.
“Kalau menurut kita sebagai pemkab dalam hal ini kita membenarkan Disnaker bahwa perusahaan melanggar karena dia mempekerjakan orang selama 9 tahun masa tidak diangkat angkat jadi karyawan tetap,” katanya.
Tetapi, perusahaan juga bersikukuh dan ia bilang mereka berakhir melalui PKWT dan dalam UU pasal 8 pun pihak perusahaan tidak mengakuinya.
Sebagai DPRD dalam persoalan tersebut tidak mempunyai kapasitas untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Ranah pengadilan lah yang menentukan hal itu.
“Kita tidak punya kapasitas menentukan siapa benar siapa salah tentu itu pengadilan yang menetukan, Ahli hukum aja lagi yang melihat itu, karena ini mutlak ranah hukum,” tuturnya.
Lebih jauh, pihak perusahaan menganggap Disnakertrans keliru dalam persoalan itu, makanya dengan tegas mereka menolak dan tetap pada pendirianya.
Walaupun sebenarnya pemkab mempunyai UU yang mengatur hal itu, tetapi jika perusahaan tidak menerima, maka dari itu, solusi terakhir nya adalah ke PHI. Nanti akan diputuskan disana.
“Kan ada PHI nya mereka yang mutuskan nanti. Kalau kita tidak punya wewenang bukan ranah DPRD mutuskan itu, nanti apa gunanya pengadilan, ” tandasnya. (Rkt2/Adv)