SANGATTA – Dugaan praktik jual beli proyek APBD mengemuka di Kabupaten Kutai Timur (Kutim). Ketua Forum Pemuda Kutim, Alim Bahri, menduga ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutim yang melakukan transaksi jual beli proyek, khususnya pada program pokok-pokok pikiran (Pokir) yang dijaring dari aspirasi masyarakat.
Alim Bahri mengungkapkan bahwa setelah melakukan penelusuran, beberapa kontraktor mengaku bahwa Pokir DPRD, baik proyek fisik maupun non-fisik, telah habis terbagi. Selain itu, disebutkan bahwa sejumlah fee proyek telah diterima oleh anggota DPRD Kutim.
“Bagaimana bisa seorang anggota dewan menjalankan fungsi pengawasan jika mereka mengambil keuntungan 10 persen dari proyek? Bahkan kabarnya kini meningkat menjadi 12 persen. Benarkah hal itu?” tanya Alim Bahri saat mengikuti hearing pada Senin (28/10/2024).
Alim Bahri juga mengungkapkan bahwa satu usulan Pokir DPRD Kutim ditaksir bernilai puluhan juta rupiah. Saat ini, isu jual beli Pokir menjadi topik perbincangan hangat di masyarakat. “Jika benar ada pemotongan fee sebesar 10 persen, tentu banyak dana yang seharusnya untuk masyarakat hilang dari kas daerah,” tegasnya.
Selain itu, Forum Pemuda Kutim juga telah memberitahukan Polres Kutim terkait laporan adanya 22 anggota DPRD Kutim yang mempertanyakan alokasi Pokir dalam APBD Perubahan 2024, di mana masing-masing anggota disebut memiliki anggaran Rp10 miliar, total mencapai Rp220 miliar.
“Saya bertanya-tanya, apakah anggaran ini merupakan usulan atau memang melekat pada setiap anggota DPRD? Saya khawatir adanya alokasi seperti ini dapat mengurangi fungsi pengawasan dewan dan merugikan APBD,” kata Alim Bahri. Menurutnya, jika benar terjadi, kondisi ini lebih mencerminkan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat.
Menanggapi isu tersebut, Ketua Fraksi Gelora, Amanat Perjuangan (GAP) DPRD Kutim, Faizal Rachman, menjelaskan bahwa Pokir sebenarnya bukan anggaran, melainkan daftar usulan permasalahan yang diinput dari hasil reses anggota DPRD.
“Pokir hanya berupa daftar masalah yang muncul dari masyarakat selama reses dan kemudian diinput dalam Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) tanpa mencantumkan nilai anggaran,” jelas Faizal.
Faizal menambahkan bahwa usulan Pokir ini akan diverifikasi dan diajukan kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang sesuai untuk penetapan anggaran. “Terkait anggaran Rp10 miliar, saya selalu menjelaskan bahwa Pokir bukanlah nilai uang, melainkan jumlah usulan. Saya punya 14 Pokir, bukan nominal,” ungkap Faizal.
Faizal juga menegaskan bahwa setiap usulan Pokir harus melalui beberapa tahap dalam SIPD, mulai dari penginputan oleh anggota DPRD, verifikasi oleh Sekretariat DPRD, hingga pembahasan anggaran dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi dalam pengusulan Pokir.
Sebelum hearing, puluhan pemuda dari Forum Pemuda Kutim mengadakan aksi demonstrasi di Gedung DPRD Kutim, menyampaikan tuntutan mereka terkait transparansi anggaran. (ADV/RK)