spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Jangan Biarkan Karst Kutim Jadi Raja Ampat Berikutnya

KASUS tambang nikel di Raja Ampat kembali bikin gaduh. Wajar. Ini bukan sekadar soal izin dan peta tambang. Ini soal akal sehat.

Bayangkan, wilayah yang selama ini dunia kenal sebagai surga bawah laut, tempat jutaan orang bermimpi bisa sekali seumur hidup menyelam di sana, justru ditambang. Saya sendiri belum pernah ke sana. Tempat yang sudah lama ingin saya datangi, tapi kini justru lebih dulu dirusak.

Pulau kecil, kawasan konservasi, garis pantai, semuanya diobrak-abrik demi nikel. KLH sudah buka-bukaan: ada sedimentasi, mangrove rusak, air laut jadi keruh.

Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023 juga jelas menyebutkan bahwa tambang di pulau kecil melanggar prinsip keadilan antargenerasi. Tapi tetap saja, ada saja celah yang dimanfaatkan.

Obrolan soal ini juga ramai di grup alumni Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul) angkatan 1997, tempat saya dan kawan-kawan biasa saling bertukar pikiran. Ada yang mempertanyakan, ada yang menyayangkan. Tapi semua sepakat: ini bikin prihatin.

Dan saya langsung teringat Kutai Timur (Kutim). Di wilayah karst Sangkulirang-Mangkalihat, situasinya tak jauh beda. Bedanya, di sini masih banyak yang belum tahu. Atau mungkin pura-pura tidak tahu.

Baca Juga:   Tim BKSDA Kaltim Diterjunkan Cari Orangutan di Area Tambang Kutai Timur

Karst di Kutim bukan sekadar batuan kapur. Ia adalah sumber air, penopang ekosistem, rumah bagi ribuan spesies, sekaligus menyimpan ribuan lukisan cadas purba, jejak tangan nenek moyang kita.

Pindi Setiawan meneliti gambar cadas cap tangan di Gua Ham, karst Sangkulirang. Penemuan situs baru seperti ini sangat langka di dunia.

Baru-baru ini, Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon menyoroti langsung pentingnya kawasan ini. Dalam kunjungannya ke Samarinda, ia bersama Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji, mendorong penetapan Gua Sangkulirang-Mangkalihat sebagai cagar budaya nasional.

“Kaltim kaya akan nilai sejarah dan budaya. Ada banyak artefak penting yang bisa menjadi sumber literasi sejarah bangsa,” kata Fadli saat mengisi kuliah umum di Universitas Muhammadiyah, 30 Mei 2025 lalu.

Fadli lebih tegas soal ancaman yang kini dihadapi gua-gua purba di Kalimantan. “Di Kalimantan, ada penambangan-penambangan itu yang mengancam gua-gua purba yang di dalamnya ada lukisan-lukisan purba yang umurnya puluhan ribu tahun. Ini juga sangat membahayakan,” ujarnya kepada wartawan.

“Gua Sangkulirang itu ada sekitar 58 gua, ada 2.500 lukisan-lukisan purba yang umurnya sampai 40 ribu tahun. Di sekitaran situ ada pabrik semen. Ini yang bisa mengancam,” lanjutnya.

Baca Juga:   Bupati Kutim Umumkan TK2D Lulus PPPK, Tekankan Peningkatan Pelayanan Publik

Gua Sangkulirang adalah bagian dari ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat yang luasnya mencapai 1,8 juta hektare. Dari luasan itu, sekitar 326 ribu hektare masuk kawasan lindung geologi.

Gambar cadas kerap ditemukan di ruang seperti balkon di situs-situs hulu Bengalon, Sangkulirang.
Gambar cadas berwarna oker tampak di relung Gua Saleh, pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat.

Para ahli bahkan menyebut seni cadas di Kutim ini lebih tua daripada lukisan serupa di Gua El Castillo, Spanyol.

Tidak hanya gambar telapak tangan, gua-gua ini juga menyimpan lukisan hewan purba, babi hutan, rusa, hingga pola-pola geometris yang sarat makna. Semua ini adalah bukti peradaban tinggi yang hidup jauh sebelum kita.

Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji, menyebut bahwa nilai-nilai lokal dan hukum adat masih sangat hidup di Kaltim. “Ini adalah harta yang wajib kita dokumentasikan dan jaga,” ujarnya.

Ia juga mendorong para peneliti dan akademisi untuk menggali lebih dalam sejarah Benua Etam—dari peninggalan Kerajaan Kutai di Muara Kaman hingga seni purba di karst Kutim. Semua ini bukan hanya milik Kaltim, tapi milik Indonesia, bahkan dunia.

Saya tidak menyalahkan siapa pun. Tapi mari bicara apa adanya: urusan tambang, aturan sering cuma jadi pelengkap. AMDAL dibahas panjang lebar, tapi nyaris tak ada yang benar-benar menolak. Isu keberlanjutan ramai dibicarakan, tapi yang dicari tetap untung cepat.

Baca Juga:   Sangatta Selatan Terendam Banjir, BPBD: Akibat Curah Hujan yang Tinggi

Apa yang terjadi di Raja Ampat seharusnya jadi pelajaran. Jangan sampai kita ulang kesalahan yang sama di Kutim. Jangan tunggu video viral atau ekosistem ambruk baru kita panik. Jangan tunggu gua-gua purba berubah jadi puing-puing baru kita bilang “kita kecolongan.”

Bagi saya, karst Kutim bukan cuma soal lingkungan. Ini menyangkut harga diri dan tanggung jawab antar generasi. Warisan ini bukan untuk dijual, tapi untuk dijaga.

Kalau tujuannya pembangunan, lakukan dengan cara yang benar. Tapi kalau yang dihasilkan justru kerusakan, lebih baik hentikan dulu, periksa ulang, dan pikirkan kembali.

Sebab kalau jejak sejarah dan alam yang rusak sudah hilang, tak ada yang bisa dikembalikan. Yang tertinggal hanya penyesalan. Dan itu tak bisa diganti, apalagi ditambang kembali. (*)

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi Media Kaltim